Kangen Pak Ribut dan Puisinya

Mendengar nama Ribut Wijoto, mau tidak mau akan menghubungkan kita pada sosok esais atau kritikus sastra yang cukup berwibawa di Surabaya dan Jawa Timur umumnya. Bahkan, saat ini Pak Ribut, begitu saya karib memanggil beliau pun diamanahi jabatan sebagai ketua Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda). Sidoarjo, ya kota tempat saya tumbuh besar sekaligus yang selalu ingin saya singgahi kala musim mudik tiba. Kembali pada persona Pak Ribut, betapa tidak. Sosok ini pun “menemani” saya kala masih berproses di Jawa Timur melalui esai-esainya. Beberapa tulisan Pak Ribut pun saya ingat cukup lugas mengulas kondisi kesusastraan Surabaya, Jawa Timur, pun sastra Indonesia pada umumnya.

Pak Ribut pernah mengeluarkan dua buah buku kritik sastra : Pengantar Menuju Sastra Bermanfaat dan Kondisi Postmodernisme Kesusastraan Indonesia. Namun, saya merasakan sedikit ada yang kurang kala menikmati karya Pak Ribut Wijoto. Sedikit yang agak kurang itu adalah saya masih menantikan kumpulan puisi tunggal Pak Ribut. Dengan demikian, posisi Pak Ribut sebagai seorang kritikus yang berwibawa wajib ditepikan dan disingkirkan untuk sementara waktu. Ya, keberadaan Pak Ribut Wijoto sebagai seorang penyair ternyata harus dihadirkan dan diunggah.

Mengapa begitu? Pak Ribut pun ternyata juga penulis puisi. Beliau beberapa kali diundang dalam pagelaran puisi, termasuk ajang Festival Puisi Internasional Indonesia 2012 yang berlangsung di empat kota yang menghadirkan penyair dari mancanegara. Hal ini bisa jadi merupakan buah atas apresiasi khalayak sastra terhadap puisi-puisi Pak Ribut. Selain itu, Pak Ribut pun nyata-nyata  pernah menerbitkan satu kumpulan puisi yang memang edar secara terbatas dan dicetak stensilan, Kehamilan Tersia. Meskipun tak terlalu hingar bingar, upaya itu minimal menunjukkan bahwa Pak Ribut pun turut berikhtiar dan berproses menulis puisi.

Selain itu, membahas puisi-puisi Pak Ribut akan menautkan kita dengan konteks habitat kepenyairan yang menaungi beliau. Pak Ribut tumbuh bersama nama-nama seperti Indra Tjahyadi, Mashuri, W Haryanto, Muhamad Aris, Sihar Ramses Simatupang, Deny Tri Aryanti, maupun F Aziz Manna di dalam komunitas Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Komunitas yang cukup militan dan solid (meminjam perkataan F Aziz Manna) serta mendapat pengakuan sebagai komunitas pengusung puisi-puisi gelap. Sekian esai yang pernah ditulis oleh Pak Ribut memang menjelaskan dan menjabarkan perihal puisi gelap.

Akan tetapi, mungkin sedikit kekecewaan akan kita rasakan. Kita tak akan mendapati kocokan maut kata-kata ala puisi gelap dalam puisi-puisi Pak Ribut. Awalnya, puisi-puisi Pak Ribut menunjukkan ketenangan, kelembutan, bahkan kebersahajaan terhadap kata. Larik semacam  sengaja aku mencintaimu / lalu biarkan kukirim surat / seperti suratku yang tiada henti / mengalir ke tubuhmu // (Sengaja Aku Mencintaimu, 1996) mau tak mau mengingatkan kita pada teknik penulisan Sapardi yang sederhana mengalirkan kata.

Sapardi mengembalikan puisi pada kekuatan dan daya magis kata. Seperti teknik Sapardi, Pak Ribut tidak berupaya untuk merepresentasikan ulang kata. Kata-kata tidak akan disucikan, dibongkar ulang, atau dikocok untuk menghasilkan efek bagi pembaca.  Kutipan puisi di atas sengaja membiarkan kata saling berjalin dan menampakkan kekuatannya sendiri. Hasilnya, puisi Pak Ribut lebih jernih dan terhindar dari kerumitan prismatis.

Selain itu, puisi-puisi Pak Ribut juga menunjukkan tendensi mengarah pada kedalaman. Yang dalam dan sederhana ala Subagio Sastrowardoyo. Mengutip salah satu esai Pak Ribut yang berjudul “Krisis Kepenyairan Kita”, Beliau menyebut bahwa puisi-puisi model Subagio Sastrowardoyo yang sederhana namun menyimpan kedalaman kini sangat jarang ditulis. Puisi-puisi rimbun, tenang, dan dalam telah tergusur oleh banjir puisi lirik yang sangat dominan menghidupi dunia perpuisian Indonesia saat ini.

Disadari atau tidak, puisi Pak Ribut Wijoto sebenarnya menapaki tilas dari puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo. Engkaukah itu / bening bergelantungan / di pucuk pucuk daun // dan akukah tuhan / tiap kali menyebut / namamu (Di Pucuk Pucuk, 1996). Adakah yang tak terasosiasi dengan wacana sufistik ketika kita membaca larik semacam itu? Puisi lain yang berjudul “Kabar Dari Pengasingan” (1996) juga menunjukkan keinginan untuk mengakrabi kedalaman. Di paruh perjalanan / aku bertanya padamu / engkau kalijaga // sejarah merubah perahu / mencari cermin tanah / namun tanpa upacara / burung burung ketakutan. Kedalaman yang ingin ditonjolkan dalam puisi-puisi Pak Ribut pun bukanlah kedalaman yang bermaksud menggali-gali kata, merobek hingga ke tulang, dan menunjukkan kelihaian teknik. Kedalaman yang ditimbulkan puisi beliau adalah kedalaman makna.

Dari sudut pandang eksplorasi bahasa, puisi Pak Ribut sebenarnya tampil santun-santun saja, malah kesan yang tampak adalah ketidakberanian untuk menghadirkan bentuk berbeda. Beberapa puisi Pak Ribut di atas dapat dipahami sebagai puisi komunikatif dan akomodatif terhadap perspektif pembacaan publik. Pada titik inilah, puisi Pak Ribut justru berbeda dengan “puisi gelap” yang dieksplorasi oleh kawan-kawan lain dari komunitasnya.

Dalam segi estetika dan pengucapan bahasa, seorang penyair akan mengalami perkembangan. Perkembangan itu tentu disebabkan faktor dari dalam dan dari luar. Pak Ribut Wijoto juga mengalami hal serupa. Kesuntukan dan, mungkin, kegandrungan Pak Ribut terhadap antroposentrisme Afrizal Malna, juga pengaruh dari teman-teman sekomunitasnya membuat puisi Ribut bergeser dari yang tenang ke yang beringas.

Sepasang puisi Pak Ribut pada antologi  Festival Seni Surabaya : Antologi Penyair Jawa Timur 2004 mencoba tampil ganas. Kata-kata tak lagi tenang dan tampil dengan membawa dirinya sendiri. Yang hadir adalah kata-kata gawat (atau digawat-gawatkan?) dan impresi yang terkesan memaksa. Rupa kampung terlongsor idiom-idiom tahta, / bapak kawin lari dan terbatuk-batuk, / pondok ditegaki kaca melulu, kaca melulu, / diri terkontaminasi. Ambisi. Pada dataran payudara. / Apakah keinginan ingatanku….(Sepeninggal Shamsi Tabriz, 2004). Berbeda dengan Afrizal Malna yang mengambil acuan dari benda-benda yang bersliweran dan menguasai manusia atau M Fauzi yang berpegang pada transendensi dan dunia pesantren, puisi Pak Ribut di atas rancu. Tidak ada acuan yang ingin digali. Apakah mungkin Pak Ribut sedang menggambarkan kegalauan kota Surabaya?

Membaca puisi di atas sebagai psike Tulungagung (tempat kelahiran Pak Ribut) yang masih kulon dan agraris  ternyata juga tak berterima. Diksi-diksi tanah, sungai, lumpur, atau ikan (Sejoli Berpinang, 2004) ternyata tidak menuju diksi dalam dunia agraris. Saya merasa bahwa Pak Ribut justru meletakkan diksi-diksi tersebut sebagai medan pertempuran. Ya, diksi-diksi Pak Ribut ini ternyata bertempur menghindarkan dirinya dari kesan agraris.

Satu-satunya yang mungkin dilacak adalah posisi Pak Ribut sebagai seorang pemikir. Analisisku jadi kering. / Tinggal tunggu karomah. Sebuah konstalasi warna. / Gusti, beragam gambar dari keniscayaan cinta, / hujani diri dengan utopia….(Sepeninggal Shamsi Tabriz, 2004) atau…Gerangsang. Gelambir-gelambir daging. / Sebangsa marak upacara. Rasionalitas. / Bercampur lumpur. (Sejoli Berpinang, 2004). Ya, seorang pemikir pun kritikus sastra. Impresi yang dihasilkan Pak Ribut ini bukanlah impresi ala Afrizal dengan lalu lalang bendanya atau Fauzi yang karib dengan  tradisi pesantren sebagai titik ledak dalam puisi mereka. Hal ini pun mengingatkan saya pada ucapan Pak Ribut mengenai takdir penciptaan kreatif. Bahwa kritik sastra dan penciptaan puisi adalah hal yang berbeda. Dan Pak Ribut dalam kepala saya pun lebih lekat pada seorang kritikus sastra.

Sepasang puisi Pak Ribut dalam antologi Festival Seni Surabaya 2004 seolah ingin diakui sebagai puisi gelap. Secara teknik, struktur, dan cara bertutur, puisi-puisi tersebut memang dapat disebut sebagai puisi gelap. Meski imaji yang ditampilkan oleh Pak Ribut meloncat melantur tak karuan, diksi-diksi dalam puisi beliau adalah diksi yang santun. Diksi pada puisi-puisi lama Mashuri dan Indra Tjahyadi malah lebih “gelap” dan terasa gahar di telinga.

Secara tema pun, puisi Pak Ribut ini tak memenuhi tema yang digarap oleh puisi gelap. Tidak ada disharmoni, kematian, atau perasaan chaos yang ingin diunggah. Satu prasyarat yang pernah beliau ajukan untuk memenuhi kodrat sebagai puisi gelap. Beberapa puisi Pak Ribut Wijoto dalam Festival Puisi Internasional Indonesia 2012 secara pengucapan masih bergerak pada ranah yang sama dengan puisi-puisi dalam Festival Seni Surabaya 2004. Akan tetapi, saya menerka bisa jadi Pak Ribut mengajukan tawaran lain : sarkasme. Sarkasme yang dimaksud adalah sarkasme atas puisi-puisi penyair yang telah malang melintang di jagat sastra Indonesia. Berbeda dengan akuarium (Sapardi), utang (D Zawawi Imron), atau cicak (Goenawan Mohamad) yang lebih serupa ladang tenang, Ribut menjadikan akuarium, utang, atau cicak sebagai medan makna yang liar.

Puisi Akuarium Kenangan misalnya. Apabila akuariumnya Sapardi lebih dekat pada kesan ilustratif, akuariumnya Pak Ribut justru ingin mengajak pembaca untuk berumit-rumit dalam kata akuarium. Akuarium ala beliau tak akan mengajak pembaca pada peristiwa keseharian, lebih-lebih pada kedalaman makna. Pembaca diajak berkelindan menelusuri pengolahan yang rumit. Medan makna akuarium akan ditabrakan dengan diksi pedih, perih, nanah, tubuh yang membusuk, hingga ikan-ikan mati.

Kegemaran bergawat-gawat dengan pilihan kata ternyata bisa dijinakkan oleh Pak Ribut dalam puisi “Harga Beras Naik.” Pak Ribut justru lebih bersahaja menciptakan jalinan imajinasi yang runut. Pak Ribut tidak menjadikan kenaikan harga beras sebagai elemen utama sebagaimana lazimnya digarap oleh puisi-puisi pamflet. Beliau justru mengolah kenaikan harga sebagai titik tolak menuju rangkaian peristiwa imajinatif :  bulan ini / harga beras naik / pemerintah / menjelma waktu / harga beras / mengambil jarak / dengan masa depanku / pun pemerintah / memasangkan jalan berundak / tanpa kutahu sebabnya / pemerintah / tak memberikan apa pun / hanya undak-undakan waktu / hanya ada jalan berundak / dan harga beras makin naik.

Meskipun demikian, puisi ini juga bukan puisi permenungan sebagaimana yang diolah oleh Pak Ribut dalam puisi-puisi beliau yang awal. Sisa-sisa kegawatan sesekali juga masih tampak : kaki-kaki membumbung / kaki yang terseret / kenaikan harga / kaki yang ditanak / perapian / kaki yang menuju pembakaran.

Apa yang dikatakan Pak Ribut dalam esai “Bila Nirwan Seorang Penyair” memang dapat dibenarkan. Seorang kritikus tidak selalu seorang yang mahir menulis puisi. Bisa jadi, serangkaian konsep yang dianut dan diyakini secara fanatik oleh seorang kritikus mengakibatkan ketidakseimbangan ini terjadi. Mungkin, hal ini pula yang berlaku pada puisi-puisi Pak Ribut.

Namun, itikad Pak Ribut menulis dan menyiarkan puisi-puisinya adalah sebuah kebahagiaan sekaligus pengetahuan. Puisi-puisi Pak Ribut justru makin memperkaya khazanah perpuisian Surabaya dan Jawa Timur. Bisa jadi, puisi-puisi Pak Ribut adalah mata rantai yang hilang dalam sejarah perpuisian di Surabaya. Tentu saja, akan menarik menunggu Pak Ribut Wijoto mengeluarkan satu buku puisi yang utuh merangkum rentang kepenyairan beliau.