Kekasih-Kekasih Rahasia

Pagi itu Ivan terbangun dengan wajah sendu. Kepalanya tiba-tiba saja diserang mimpi buruk semalam; diterkam ular raksasa. Di sisi lain, bayangan bibir Weni yang ranum mengapung di pelupuk matanya. Sekilas juga terlintas hidung mungil Ida yang mancung. Tiga bayangan itu saling mengejar bergantian, membuat Ivan mendadak dahaga. Ia lalu mengambil gelas di atas meja rias istrinya dan mengarahkan ke bibirnya.

Sebagaimana para pekerja kantor lainnya, Sabtu adalah waktu terbaik untuk beristirahat. Namun, sebagai lelaki petualang, Ivan tak terlalu senang menghabiskan waktu di rumah.  Ivan mengalungkan handuk dan berdiri di hadapan meja rias istrinya. Ditatapnya dalam-dalam cermin yang tingginya hampir sepadan dengan tubuhnya. Tampak kantung mata mulai menjalar di wajahnya. Meski usianya hampir setengah abad, wajah Ivan masih kencang dalam balutan kulit kuning langsatnya itu.

Ivan menuju kamar mandi. Saat melintasi ruang tamu, ia mendapati istrinya tengah asyik menonton drama korea. Sementara dua anak kembarnya bermain lego di teras rumah.

“Jam satu temani aku ke pesta ya, Sayang!” ucap istrinya saat Ivan hendak memasukkan lauk ke dalam mulutnya. Ivan mengangguk tersenyum meski di dalam batinnya sedikit limbung.

Ivan berjalan menuju teras dan duduk sembari memegang telepon genggam. Dua anak perempuannya berlarian mengejar kupu-kupu di halaman. Ia buka HP-nya dan mengirimkan sebuah pesan ke Weni.

Pesan itu hanya sebuah titik, sebagai awal mula percakapan bahwa pesan itu benar-benar dikirim oleh Ivan. Weni pun membalas dalam hitungan detik. Ivan membatalkan janji temu dengan kekasihnya itu demi menemani sang istri, yang usianya terpaut lima tahun lebih tua darinya.

***

Ivan merasa gundah. Weni memberikan balasan yang tak menggembirakan. Ia berjalan meninggalkan rumah menuju warung tanpa berpamitan kepada isrinya. Di perjalanan, ia menelpon Weni, tapi teleponnya itu ditolak.

Ivan tak putus asa, ia hubungi kembali kekasihnya itu. Hendak ia beri pengertian bahwa pertemuan hari itu harus gagal. Biasanya, undangan ke pesta selalu datang pada hari Minggu, tapi undangan kali ini mengacaukan rencana janji temu dengan Weni. Namun sayang, teleponnya itu ditolak berkali-kali.

Ivan mencoba menelpon Weni kembali, ternyata gayung bersambut. Ivan menenangkan Weni dengan kata-kata manis yang penuh bujuk rayu. Weni sepertinya memercayai ucapan Ivan. Ivan pun merasa sedikit lega. Ia nyalakan korek api ke sebatang rokok yang telah menempel di bibirnya.

Di perjalanan menuju pulang, ia hapus semua pesan Weni yang di dalam kontak HP-nya bertuliskan nama “Iwen”. Sebuah penyamaran kontak yang menyerupai nama laki-laki.  Tiba-tiba HP Ivan berdering. Adi memanggil dan Ivan pun mengangkatnya.

“Hai Sayang, kapan mau ngajakin aku jalan? Udah nggak kangen ya sama aku?” ucap Ida, istri muda dari seorang rentenir terkenal.

“Tentu saja aku sangat kangen kamu, tapi kalau weekend kau tahu sendiri ‘kan? Waktuku habis buat nyonya di rumah. Kita jalan lusa ya! Nanti aku bisa bolos di jam kantor!” kata Ivan sembari melengkungkan bibirnya.

“Ok baik. Bye sayang!” kata Ida dengan suara menggoda. Dengan penuh senyum, Ivan membersihkan riwayat panggilan di telepon genggamnya.

***

Istri dan kedua anaknya sudah berada di dalam mobil Rubicon milik Ivan. Mereka bergegas menitipkan anak-anaknya ke rumah orang tua istrinya. Ketika tiba di parkiran sebuah hotel bintang lima, ia mendapati mobil Ida.

“Sedang apa Ida di sini? Apakah ida juga menghadiri undangan? Lantas dengan siapa? Suami Ida ‘kan tinggal di luar kota bersama istri pertamanya”, kecamuk dalam hati Ivan mulai menggelora.

Istri Ivan membawa piring berisi nasi yang baru saja ia amil di meja prasmanan dan menuju ke meja VIP. Ivan duduk di sebelah sang istri dan menikmati makanan. Meski tak lagi muda, istri Ivan bukanlah wanita yang tak menarik. Gaun merah panjang yang ia kenakan dan rambut blonde sebahu membuatnya cukup menjadi pusat perhatian di acara pesta, yang ramai dihadiri para pejabat dan pengusaha.

Tiba-tiba mata Ivan tertuju pada Ida. Ida tampak bercakap mesra dengan pengusaha garmen. Ivan menarik napas dalam-dalam. Ada yang bergemuruh di dalam dadanya. Usai acara, Ivan berencana menelpon Ida dan menanyakan bagaimana hubungannya terkait lelaki muda berparas rupawan itu.

“Sejujurnya, aku ingin sekali menghampiri Ida, tapi dalam situasi seperti ini sangat tidak memungkinkan. Nyonya bisa tahu hubungan terlarangku dengan Ida. Ini bahaya,” ucapnya dalam hati. Ia pun memalingkan mata ke arah raja dan ratu yang duduk di pelaminan.

“Sebagai seorang lelaki, aku merasa dikhianati, kalau memang pengusaha muda itu adalah kekasih Ida yang lain, aku akan bikin perhitungan padanya. Ini sungguh masalah perasaan yang sedikit rumit,” katanya lagi di dalam hati.

Ida melambaikan tangan ke arah Ivan dan istrinya. Lalu menghampiri Ivan. Keringat dingin mengalir dari pelipis Ivan. Ida lantas menyalami Ivan dan istrinya.

“Mei Ling, benar kamu Mei Ling? Masih ingat denganku?” tanya Ida kepada istri Ivan.

“Apa kau Ida? Adik kelasku di SMP dulu?” tanya istri Ivan.

“Ya, benar sekali. Kau tampak cantik sekali, Mei!” Ivan terheran-heran. Ia tak menyangka bila mereka saling mengenal.

“Terima kasih. Oh iya, kenalkan ini suamiku, Ivan!” ucap sang istri dengan tersenyum.

Ida menyodorkan tangannya ke arah Ivan, yang rambutnya klimis dan mengenakan kemeja merah. Mereka bersalaman seolah tak saling mengenal. Ivan menatap tajam ke mata Ida. Ida membalas tatapan itu sejenak, lalu bergegas meninggalkan Ivan dan istrinya.

Ida sudah duduk di meja VIP sebelah bersama pengusaha muda tadi. Namun, mata Ivan tak bisa lari untuk mencuri-curi pandang ke arah Ida, yang tampak anggun dengan gaun hitamnya.

Usai menikmati perjamuan, Ivan dan istrinya berdiri dan hendak meninggalkan pesta. Betapa terkejutnya Ivan. Ia mendapati Weni bersama pria muda. Ia lekas-lekas mengajak istrinya itu untuk pulang agar Weni tak melihat keberadaannya. Ivan kembali membatin.

“Siapa lelaki yang bersama Weni? Kenapa pemuda itu menggandeng Weni dengan mesra? Apakah itu kekasih Weni di kampus atau hanya sekadar teman kuliah saja? Sial sekali hari ini, dua betinaku datang dengan lelaki muda. Kejutan apa lagi ini?”

Mobil Ivan melaju kencang. Ivan mengantarkan istrinya, lalu pamit menuju rumah temannya.  Di perjalanan, Ia pun menelpon Ida.

“Siapa lelaki tadi, Ida? Tolong jelaskan padaku!”

“Ia hanya seorang teman.”

“Kau jangan berbohong. Akui saja kalau dia kekasihmu yang lain! Aku kecewa padamu, Ida. Kau bilang selain pada suamimu, kau hanya akan setia kepadaku. Aku benar-benar kecewa,” ungkap Ivan.

“Kau sungguh ingin mengetahui siapa lelaki tadi? Aku ingin sekali memberi tahumu, tapi aku takut kau terluka! Tapi baiklah, aku beri tahu saja. Dia adalah kekasih Mei Ling, simpanan istrimu!”

“Kau jangan bicara sembarangan, tidak mungkin Nyonya begitu!”

“Kalau kubilang, dia juga kekasihku, bagaimana? Kau juga akan percaya? Dia adalah kekasihku sekaligus kekasih nyonya kesayangamu itu!” ucap Ida dengan suara menggoda. Ivan merasa hatinya sakit berkali-kali lipat.

“Kau bilang kau mau setia padaku, tapi semua itu bohong, Ida. Kau membikin hatiku patah dan terbakar hari ini. Terima kasih atas semua kebohongan yang keluar dari mulutmu,” ucap Ivan dengan suara gemetar.

“Ivan, Ivan, kau lucu sekali. Emangnya ada ya kesetiaan dalam perselingkuhan? Kau ingin aku setia padamu sementara kau juga berbuat curang. Lantas bagaimana dengan kekasih-kekasihmu yang lain? Weni, Ratna, Asih, dsb.? Kau terlalu pemain, Van, tapi jangan sebut aku Ida kalau aku tak bisa mencari tahu tentang itu semua. Perihal kau tak memercayai semua omonganku, itu urusanmu, Van,” jawab Ida ketus.

Tuuuut….Tuuuut…Tuuut…Ida memutuskan percakapan dari balik telepon.

Ivan melajukan mobilnya ke sebuah kafe. Di sana, ia minum banyak Chivas Regal untuk melupakan ucapan Ida yang begitu menohok harga dirinya.

“Tidak mungkin Mei Ling mengkhianatiku. Sangat tidak mungkin! Ia istri yang baik untuk suami yang keparat sepertiku. Tidak! Aku tidak harus memercayai semua itu,” ucap Ivan di dalam hatinya.

Bayangan ida masih berputar-putar di kepalanya, lantas berseliweran wajah sang istri dan pengusaha tampan, juga bibir ranum Weni yang menawan, juga wajah Ratna yang begitu manis, juga tahi lalat di dada Asih yang berwarna cokelat muda.