Sebuah naskah drama karya Ahmad Moehdor al-Farisi
Para Pemain:
- Pelelang
- Penawar 1
- Penawar 2
- Penawar 3
- Penawar 4
- Penawar 5
- Penawar 6
- Penawar 7
- Bayangan
Dalam sebuah momen, hadir banyak orang dengan tujuan yang sama. Masing-masing mengantongi hasrat yang kita sebut saja “entah”, tentu dengan kadar kualitas yang beda-beda. Semuanya fokus menatap ke depan, pada seseorang yang terlihat sedang menata sesuatu. Seseorang itu dibantu oleh beberapa lelaki yang berpakaian serba hitam.
Selesai menata barang-barangnya, seseorang itu tiba-tiba terdiam.
Masuk musik Magis Piano.
Lampu panggung fade in.
Tampak seorang laki-laki duduk di atas bangku tua. Di sampingnya ada jam gantung tua. Ia menarik napas dalam-dalam. Kemudian menangis. Kemudian buka bicara tanpa salam.
Pelelang:
Hidup memang tak bisa ditebak. Dulu sebelum aku kehilangan seseorang yang aku cintai, hidupku masih wajar-wajar saja. Tidak segalanya harus aku uangkan. Tidak segalanya harus aku takar dengan deretan nominal. Aku biarkan ia mengalir begitu saja. Aku menjalani hidup sebagaimana mestinya, makan, kenyang, sudah. Itu saja. Cukup. Belum ada hasrat ini, hasrat itu.
Aku jalani hidup dengan penuh kedamaian. Yaaa bisa dibilang, mengutip istilah dari guru-guru ngajiku dulu, hidupku sangat khusuk. Hari-hari aku jalani tanpa harus dihitung dapat apa dan untung berapa. Tidak. Yaaa aku jalani begitu saja. Makan, kenyang, sudah. Tak ada hasrat ini itu. Cukup.
(Pelelang tiba-tiba melamun. Tak lama kemudian kembali menangis. Agak sedikit sakit terdengarnya. Tangisannya sangat dalam. Tak lama kemudian ia kaget dan segera menyeka air matanya.)
Pelelang:
Astaghfirullahaladzim…
Maaf-maaf, saya terbawa emosi. Baik, kita mulai ya acaranya. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…
(Terdengar gemuruh jawaban dari arah penonton.)
Selamat malam semuanya. Semoga semuanya selalu sehat dan tetap semangat mengejar hasrat hidupnya masing-masing. Sebuah kehormatan dan kebahagiaan atas kehadirannya malam ini. Terima kasih… Terima kasih…
Baik, kita mulai ya. Di samping saya ini ada barang berharga berupa jam tangan. Jam tangan ini warisan dari mendiang ibu saya. Waktu itu harganya memang tak seberapa, tapi kenangan yang terdapat di dalamnya tak bisa dihitung dengan angka. Belum ada keanehan-keanehan yang kerap muncul darinya tiba-tiba. Belum ada. Tapi, belum jauh dari hari ini, jam ini mulai memunculkan keanehan-keanehan. Itulah sebab kenapa jam ini saya lelang.
Masuk musik Magis Dark.
Jam ini setiap malam Jumat bisa memunculkam aroma wewangian. Yaaa semacam bunga melati gitu. Lebih-lebih di malam hari Jumat Kliwon. Kadang jam ini malah bisa bergetar seperti HP yang dimode getar saat alarmnya berdering. Jam ini selama ini, selain sebagai penanda waktu dalam keluarga saya, ia juga berfungsi sebagai pengingat kami untuk bangun malam, salat dan mengaji. Lebih-lebih di malam Jumat Kliwon itu.
Awalnya sih saya belum tahu kapan weton Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage. Tapi, semenjak mendiang Ibu mewariskan jam ini saya jadi tahu kapan Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage. Semua itu bermula dari keanehan jam ini saat malam Jumat Kliwon itu. Dari situlah kemudian saya bisa menghitung hari berikutnya adalah Legi, Pahing, Pon, dan Wage yang sebelumnya aku pelajari dari mediang bapak mengenai urutan-urutannya. Dan tentu pada jam ini ada keunikan lainnya yang tidak bisa saya sampaikan pada publik. Keanehan lainnya akan saya sampaikan khusus pada seseorang yang membelinya.
Baik, kita mulai dari tawaran terkecil. Silakan angkat tangan dan sebutkan berapa Anda menawarnya.
Penawar 1:
(Dari arah penonton/barisan ustaz. Angkat tangan, kemudian berdiri.)
Maaf, Pak. Dua puluh lima ribu.
Pelelang:
Oke. Dua puluh lima ribu. Ada yang lain?
Penawar 2:
(Dari arah penonton/barisan ustazah. Angkat tangan, kemudian berdiri.)
Saya, Pak. Tiga puluh ribu.
Pelelang:
Oke. Tiga puluh ribu. Ada yang lain?
Penawar 3:
(Dari arah penonton/barisan ustaz. Angkat tangan, kemudian berdiri.)
Tiga puluh lima ribu.
Pelelang:
Tiga puluh lima ribu.
Penawar 4:
(Dari arah penonton/tengah-tengah santriwan. Angkat tangan, kemudian berdiri.)
Empat puluh ribu.
Pelelang:
Mantap. Empat puluh ribu.
Penawar 5:
(Dari arah penonton/tengah-tengah santriwati. Angkat tangan, kemudian berdiri.)
Seratus ribu.
Pelelang:
Wau, seratus ribu rupiah.
(Suasana makin ramai. Proses tawar menawar tampak begitu serius. Tak lama dari gemuruh ramai penonton, tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri dari arah penonton/ustaz.)
Penawar 6:
Satu juta rupiah!
(Tegas dan lantang.)
Pelelang:
Oke, lelang ditutup pada harga penawaran satu juta rupiah.
(Terlihat tergesa-gesa menutup lelang. Tampak gusar bercampur senang.)
Dia terlihat mengelap jam gantung yang dilelang itu. Menciuminya. Mengelusnya. Memeluknya. Kemudian menangis sembari berbisik WAKTU ITU MAHAL.
Pelelang kembali duduk di kursinya. Menatap ke sudut atas kiri, sedang merenungkan sesuatu. Menangis sesenggukan sembari berbisik pelan WAKTU ITU MAHAL.
Masuk musik Sad Dark Piano.
Pelelang:
(Tampak melamun dan bergumam sendiri.)
Andaikan penyesalan ada di depan, andai penyesalan tidak menyapa setelah semuanya usai, mungkin kita tidak akan pernah merasakan dinginnya air mata. Setiap kali kita sampai pada akhir sebuah proses hidup, kerap kita menyesal mengapa semuanya berlalu begitu cepat sedangkan kita merasa belum begitu maksimal menuntaskannya. Kadang pula kita menghayal, berharap kembali pada masa-masa lalu. Ingin memperbaiki sesuatu yang kita rasa belum baik. Ingin menebus dosa-dosa yang berceceran sepanjang jalan kenangan.
Bayangan:
(Muncul sosok bapak tua. Baju serba putih. Bulu mata putih. Rambut putih. Berjalan lambat di belakang Pelelang. Kemudian berhenti tepat di samping kirinya.)
Itulah, Nak, mengapa dulu Bapak begitu keras mendidikmu untuk menghargai waktu. Waktu tidak bisa dibeli dengan harga berapa pun. Waktu tidak bisa ditukar dengan apapun. Sedikit saja kau menyianyiakannya, petaka penyesalan akan menghantuimu selama-lamanya.
Waktu ada sebelum kau ada. Waktu tetap ada meskipun kelak kau tiada. Ia abadi. Maka jangan kau gadaikan ia dengan sesuatu yang sangat kecil harganya. Munkhusni islamilmar’i tarkuhu mala ya’nihi. Salah satu tanda kesempurnaan hidupmu di muka bumi yaitu tidak menyianyiakan waktu, Nak. Hiasilah putarannya dengan kepasrahan, kentudukan, dan gairah untuk berbuat kebaikan. Jangan kau lelang ia dengan nafsu. Jangan kau jual ia dengan kemalasan.
Waktu terus bergerak. Tak bisa dihentikan. Tapi kau bisa memutuskan untuk berhenti bertindak. Tapi waktu tak bisa, Nak. Waktu tak bisa disalahkan jika kau gagal. Waktu tak bisa dimintai pertanggungjawaban jika kau lalai. Kamu ada atau tidak, waktu terus bergerak sebagaimana kodratnya.
(Bayangan berhenti menasihati. Pelelang tampak masih melamun, tak lama kemudian menyeka air mata.)
Pelelang:
Andai tak secepat itu kau meninggalkanku, Pak, mungkin hidupku tak sekacau ini. Andai pula kau tak bergegas menyusulnya, Bu, mungkin masih ada pundak untukku bersandar atas segala sesal. Kini tak ada yang bisa aku pertahankan, selain air mata yang saban waktu menderas setiap kali bayangan nasihatmu hadir mengusap hatiku. Segalanya sudah aku gadaikan. Dan aku tak bisa menebusnya selain dengan penyesalan.
Penawar 1:
Woi, Pak, masih ada yang dilelang lagi gak? Malah bengong…
(Berteriak dari arah penonton)
Penawar 2, 3, 4, 5, dan 6:
Iya nih, ditungguin malah mlongo.
(Kasak–kusuk, meracau tak karuan.)
Pelelang:
Oke oke oke…
Maf maaf maaf…
Nasib malang membuatku tidak fokus akan tujuan hidup. Baik, kita lanjut pelelangannya.
Penawar 6:
Buruan… Jangan buang-buang waktu. Bagiku sedetik itu berharga. Jangan kau sia-siakan dengan menunggu ketidakpastian.
Pelelang:
Oke oke oke…
Tenang… Tenang… Tenang.
(Berdiri tegap. Menatap mantap ke arah para penawar. Kemudian melepas setelan jas dan sepatunya. Menyisakan kaos dan celana panjang yang compang-camping.)
Sudah tidak ada yang bisa saya lelang, kecuali tubuh ini. Sudah tidak ada yang tersisa, kecuali badan yang tak punya arah tujuan. Silakan, dengan apa atau berapa saudara-saudara akan menawar diri saya.
Penawar 1:
(Angkat tangan dan berdiri.)
Pelelang:
Oke, silakan, saudara penawar. Dengan apa atau berapa Anda menawar diri saya?
Penawar 1:
Dilihat dari parawakannya, sepertinya Anda bukan tipikal pejuang. Hobinya hanya pasrah. Aku tawar kau untuk jadi pembantu di rumahku. Kebetulan keluarga kami butuh seorang pembantu untuk membersihkan selokan yang sering mampet.
Pelelang:
Jaminan apa yang Anda berikan?
Penawar 1:
Untuk Anda cukup makan 3 kali sehari.
Pelelang:
Rokok dan kopinya bagaimana?
Penawar 1:
Oke. Jatah rokok sebungkus untuk tiga hari. Untuk kopi diusahakan sehari sekali saja. Bagaimana?
Pelelang:
Siap. Dicatat. Orang pertama menawar diri saya untuk jadi babu di rumahnya dengan jaminan makan tiga kali sehari, rokok sebungkus untuk tiga hari, dan kopi masih belum ada kepastian. Bagaimana dengan saudara-saudara yang lain?
Penawar 2:
(Angkat tangan, kemudian berdiri.)
Pelelang:
Oke, silakan saudari. Berapa atau dengan apa Anda menawar saya?
Penawar 2:
Saya seorang ibu RT di wilayah ini. Saya punya agenda rutin mingguan, yaitu mengumpulkan ibu-ibu sekitar untuk arisan. Agenda utama dari arisan itu yaaa ngegibah. Sebenarnya arisan hanyalah kedok belaka, isinya ya begitu, menggunjing sana-sini. Apalagi kalau tetangga kami ada yang punya ini punya itu, bisa beli ini beli itu, pasti akan jadi makanan empuk kami untuk kami kuliti dengan kesirikan-kesirikan. Saya tawarkan pada Anda untuk jadi pembawa doa dalam arisan itu. Bagaimana?
Pelelang:
Waduh, saya bukan ahli ibadah yang baik.
Penawar 2:
Justru itu. Dari bahasa tubuhmu sudah terlihat bahwa Anda memang bukan ahli ibadah.
Pelelang:
Saya gak hafal doa-doa.
Penawar 2:
Yaelah, itu bisa diatur. Nanti saya belikan buku kumpulan doa-doa. Biar aman majelis ngegibah kami ini, maka harus ada sedikit polesan religiusnya gitu. Nanti Anda saya perkenalkan kepada ibu-ibu yang lainnya bahwa Anda adalah seorang guru ngaji dari kampung sebelah.
Pelelang:
Menarik. Sangat menarik. Apa jaminan Anda buat saya?
Penawar 2:
Tentu nama baik. Anda akan dikenal sebagai ustaz oleh kelompok arisan saya. Belum lagi nanti Anda saya sediakan baju koko, surban, dan peci. Pasti nama Anda akan melayang ke seantero perbincangan ibu-ibu. Dengan begitu Anda akan jadi ustaz yang tersohor.
Pelelang:
Hemmm… Menarik. Sangat menarik. Oke, saya catat. Penawaran kedua jadi ustaz gadungan.
(Terlihat menuliskan sesuatu di udara. Kemudian membuka forum lelang berikutnya.)
Berikutnya, siapa? Ada tawaran yang lebih dari penawaran ini? Silakan.
Penawar 4:
Saya…!
(Teriak, kemudian berdiri.)
Pelelang:
Wou… Oke. Dengan apa atau berapa Anda menawar diri saya?
Penawar 4:
Saya tawar Anda untuk menjadi Ayah saya.
Pelelang:
Wait… Wait.. wait… Jadi Bapakmu? Ibumu cantik gak?
(Dengan gaya genit.)
Penawar 4:
Aku anak seorang pejabat. Ibuku banyak, ada di mana-mana. Aku tidak tahu ibuku yang mana. Soalnya setiap hari muka ibuku selalu berubah-ubah. Ayahku jarang di rumah. Pamitnya sih ada rapat kerja partai. Setiap berangkat selalu mencium keningku dengan sedikit tergesa dan terlihat baik-baik saja. Tapi pulangnya selalu sempoyongan dengan merangkul perempuan. Ayah bilang, yang membopongnya pulang itu adalah ibu kandungku. Tapi aku gak tahu yang mana ibuku. Setiap hari wajahnya selalu berubah-ubah.
Aku sudah jenuh tinggal bersamanya. Kini ayahku nyaris tak pernah di rumah. Aku sendirian bersama sepi. Aku merindukan seseorang, tapi tak tahu siapa itu. Dari pada mati tidak hidup tidak, aku tawar Anda untuk jadi ayah tetap saya.
Pelelang:
Ini sangat menarik… Yesss…
Oke oke oke… Pasti Anda punya banyak warisan dari ayahmu itu?
Penawar 4:
Betul. Saya sudah dibelikan mobil mewah. Satu rumah megah di kompleks Perum Bakot. Dan beberapa petak tanah. Itu semua untuk Anda. Saya sudah tidak butuh itu semua. Saya hanya butuh kepastian bahwa ayahku benar-benar manusia dan mau menemamiku setiap harinya.
Pelelang:
Oke. Ini segera saya catat.
(Kembali menuliskan sesuatu di udara. Kini ia menulis agak panjang dengan posisi melingkari kursi yang didudukinya. Kemudian loncat ke atas kursi. Kemudian berdiri.)
Dengan ini, lelang atas diri saya dinyatakan ditut…
(Belum selesai bicara, dari arah penonton ada yang berdiri sambil teriak.)
Penawar 7:
Kullu nafsin dzaikotul maut…
(Sambil berdiri dan angkat tangan.)
Pelelang:
(Melongo, mencari-cari ke arah penonton.)
Siapa itu?
Penawar 7:
Saya!
Pelelang:
Oh, Anda. Oke. Perkenalkan siapa Anda dan mau menawar diri saya dengan apa atau berapa?
(Kembali duduk dengan posisi ngangkang dan kedua tangannya tolak pinggang.)
Penawar 7:
Saya Khuduri. Saya adalah Aku yang ada dalam hatimu. Saya biasa dikenal dengan sebutan cahaya kesucian. Cahaya ilahiyah yang dititpkan padamu sejak kau dalam kandungan. Alastu birobbikum. Saya mendapatkan amanah untuk menemanimu selama di dunia. Membimbing, menasihati, dan mengingatkan meski sering kali kau tak menghiraukan bisikanku.
Hatimu gersang. Segalanya kau ukur dengan nominal. Itulah sebab mengapa hatimu kering dan mati. Meski kau merasa masih hidup, akan tetapi sejatinya kau sudah mati. Orang sepertimu tak ubahnya binatang, hanya budak nafsu. Untung saja kau masih punya kepala, letak pembeda antara binatang dan manusia, meski isi kepalamu tak ada fungsinya.
Ingat, kullu nafsin dzaikotul maut… Semua yang bernyawa akan binasa. Akan kembali pada ketiadaan. Dan disitulah kau akan menyesali betapa meruginya kamu selama ini.
Masuk musik Dark Tibet dan Paduan Suara Tahlil.
Pelelang:
Heh, cukup! Kau mau menawarku atau mau ceramah?
(Melotot kesal.)
Penawar 7:
Sudah berapa banyak tahun-tahun yang kau lalui begitu saja? Sudah berapa lama kau sia-siakan usia? Sadarlah, dan kembalilah ke fitrahmu sebagai utusan di muka bumi ini. Bukan sebagai budak atas segala nafsu, melainkan pemimpin atas kebaikan dirimu sendiri.
Pelelang:
Cukup! Apa kau tak tahu kalau aku ini seorang ahli ibadah?
Penawar 2:
Jangan mengaku-ngaku ahli ibadah. Jangan menodai kesucian identitas ahli ibadah dengan kemalasanmu untuk salat berjemaah.
(Dengan suara lantang dan tegas.)
Pelelang:
Saya ini cendekiawan, apa kau tidak tahu, hah?
Penawar 5:
Jangan mengaku-ngaku cendekiawan sedangkan kau malas baca buku!
(Ikut bersuara lantang.)
Pelelang:
Saya adalah pejabat. Semua orang menghormatiku.
Penawar 4:
Pejabat yang menebar kerusakan. Kau tak ubahnya benalu di tengah-tengah masyarakat. Kau peras suara rakyat dengan janji-janji dusta. Sudah berapa banyak yang kau zalimi mereka atas nama kebijakan?
(Berdiri dan menuding ke arah panggung.)
Pelelang:
Cukup…
Penawar 7:
Kullu nafsin dzaikotul maut…
Pelelang:
Cukup…
Penawar 1:
Kullu nafsin dzaikotul maut…
Pelelang:
Cukup…! Hentikan…!
(Meringkuk di atas kursi dengan menutup kedua telinga.)
Penawar 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7:
(Membentuk suara-suara gaduh.)
Kullu nafsin dzaikotul maut…
(Melangkah ke depan, semuanya merapat ke atas panggung.)
Pelelang:
Hentikan…!
Penawar 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7:
(Terus melangkah ke atas panggung dengan satu kalimat yang sama: Kullu nafsin dzaikotul maut… Membentuk lingkaran. Memutari Pelelang sambil menuding ke arahnya.)
Pelelang:
Cukup…! Hentikan…!
(Berteriak histeris.)
Lampu panggung balck uot.
Tak lama lampu panggung kembali fade in. Di atas panggung tampak sebuah ranjang dan terdapat Pelelang yang sedang tidur di atasnya. Beberapa kali ia tampak gelisah. Miring kanan, miring kiri. Sesekali pula menepis-nepis ke udara dibarengi suara teriakan-teriakan yang tidak jelas.
Pelelang:
Cukup… Sudah… Sudah… Ampun…
(Berteriak dengan mata masih terpejam.)
Bayangan:
Nak… Bangun, Nak… Kenapa kamu? Bangun… Bangun.
Pelelang:
Astaghfirullahaladzim…
Aku mimpi buruk, Pak.
(Dengan napasnya yang tersengal-sengal.)
Bayangan:
Astaghfirullahaladzim…
Lampu panggung fade out.
SELESAI
Leave a Reply