Di sebuah edisi Maiyah Bangbang Wetan (BbW), Surabaya, ketika saya kuliah dan tinggal di Surabaya pada rentang 2004–2010 dan mengikuti BbW sejak 2006, Mbah Nun pernah menyampaikan risalah agar dirinya jangan dikultus-kultuskan. Tak selang berapa lama dari ucapan itu, Mbah Nun jarang rawuh di BbW. Saya lupa kapan persisnya edisi-edisi tersebut. Tanpa kehadiran Mbah Nun, saya merasa gairah menjadi pendengar berkurang. Di situlah saya mencurigai diri sendiri: jangan-jangan kehadiran saya ke BbW hanya untuk mendengarkan dan menikmati wejangan dari Mbah Nun. Saya jadi bertanya: niat saya ke BbW sebenarnya tolabul ilmi ataukah mendengarkan Mbah Nun? Padahal, pendaran ilmu maiyah sebagai universitas kehidupan jauh lebih dahsyat dari seorang Mbah Nun.
Harus diakui bahwa Mbah Nun sebagai individu, entitas jasad, mempunyai daya tarik tersendiri. Saya “mengenalnya” kali pertama di MAN Sampang melalui buku berjudul Surat Kepada Kanjeng Nabi. Maka, ketika ada pamflet BbW di kampus, saya ingin hadir. Seperti apa sosok Cak Nun yang tulisannya membuat saya terpukau. “Perkenalan” lebih dalam itu, menghasilkan penilaian baru bahwa Mbah Nun adalah orator ulung. Sama luar biasa dengan tulisannya.
Tidak pelak sampai saat ini saya bertanya-tanya: Mbah Nun dengan dimensinya yang lain, apa gerangan yang membuat dia memiliki pancaran ilmu semacam itu? Apa itu yang dimaksud dengan ladunni? Oh, bahkan saya pernah berbisik dalam diri, “Kalau dikatakan wajib bagi setiap manusia, mencari guru atau mursyid, sebagaimana saya dengar dari nyantri ala kadarnya, maka Mbah Nun adalah sosok yang saya anggap mursyid itu.” Namun, saya tahu, Mbah Nun pun pernah menyampaikan bahwa beliau jangan dijadikan mursyid. Beliau bukan mursyid. Pokoknya, bukan siapa-siapa. Sekali lagi, beliau ingin dianggap manusia biasa. “Kan nggak enak punya kesaktian, kebal, sebab nikmatnya hidup merasakan sakit,” begitulah kira-kira kata Mbah Nun di sebuah edisi Maiyah.
Apa yang disampaikan Mbah Nun tentang dirinya sebagai manusia biasa, harus kita maknai sebagai amanah. Sebagai manusia ia punya salah dan tidak benar terus. Maka, ujian bagi para Jamaah Maiyah adalah sampai kapan pun jangan sampai Mbah Nun dikultuskan. Jangan sampai berlebihan menempatkan posisi Mbah Nun.
Hanya Rasulullah yang patut “dikultuskan” dan yang maksum. Lain dari itu, jangan. Tapi, seperti Rasulullah yang tidak ingin di-sayyid-sayyid-kan, penghormatan kami berikan melalui puja-puji sebagai luapan cinta dan akhlak kepada Baginda Nabi, seperti itu pula, izinkan kami menyampaikan penghormatan kepada Mbah Nun bahwa bagaimana pun, kami mencintainya. Harus diakui ada ketidakrelaan jika Mbah Nun dihina. Padahal penghinaan itu “perlu” untuk terus merawat kedirian sebagai manusia biasa. Dan kita harusnya bersikap biasa saja sambil ketawa-ketawa. Wong, Mbah Nun saja woles kok.
Untuk menguji amanah tidak mengultuskan, tahun carut-marut jelang 2024 pun jadi pembuktian. Gelombang polarisasi dua golongan yang tercipta sejak tahun 2014 hingga saat ini pun tak pelak menyeret-nyeret nama Mbah Nun. Saat ini pun, menjadi netral seolah-olah perlu dicurigai dan menjadi pengkritik seolah-oleh anti dan benci. Padahal, kritik pedas Mbah Nun terhadap kekuasaan dan pemerintah sudah berjalan sepanjang usianya menemani masyarakat.
Ada benarnya apa yang dikatakan oleh Sujiwo Tejo di ILC beberapa tahun lalu bahwa dia “terjebak” dalam kondisi memilih diam sebab saat dia melakukan kritik, saat itu pula dia dianggap sedang melakukan ujaran kebencian dan dianggap sedang mem-bully. Bahkan, tahun 2014 Sujiwo Tejo pernah disindir hanya gara-gara menyatakan dirinya netral. Kondisi itulah yang juga dialami Mbah Nun di Zaman Silikon ini.
Menjadi masyarakat Maiyah adalah menjadi diri yang berpandangan ilmiah, objektif, dan mau meneliti. Begitulah Mbah Nun pernah dawuh. Karena itu, kadang saya geleng-geleng kepala juga membaca media sosial tentang cara masyarakat Maiyah menanggapi orang-orang yang “menyerang” Mbah Nun dengan bahasa yang kurang patut. Mendekati tahun politik, sebagaimana pernah “dideklarasikan” Mbah Nun di Kenduri Cinta, 11 Mei 2019 lalu (saya lihat di kanal YouTube caknun.com), jamaah Maiyah memilih dizalimi daripada menzalimi. Saya menafsirkannya bukan sebagai bentuk menyerah pada kezaliman yang terjadi, tetapi melibatkan Allah sebagai penolong. Dan, melibatkan Allah dalam berbagai sendi kehidupan itu adalah ajaran utama di Maiyah.
Mbah Nun adalah manusia biasa, tetapi ia adalah salah satu manusia yang dianugerahi Allah kelebihan. Mungkin Mbah Nun mencoba untuk menutup-nutupi itu, tetapi gagal. Bahkan, ketika kami mencoba untuk men-daif-kannya, kami selalu gagal. Tapi percayalah, Mbah. Kami tidak akan berlebihan. Paling pol, izinkan kami merawat pemikiranmu untuk anak cucu kami kelak. Wallahu alam.
Leave a Reply