Puisi-puisi Adnan Guntur

MASKUMAMBANG

siul berhari-hari kuyup menuliskan puisi, keterasingan dari dataran tengkukmu menderita dari
murung nafas lindu.

sepanjang kelam, hujan menggambarkan gerak malam di sepanjang jalan, selarik puisi belum
habis mengendap dalam pesan-pesan yang senyap dilolongkan mimpi dari lobang pori-pori
dan kupu-kupu yang disebut malam.
sepanjang kematian nafasmu diam dan dirundung murung,

tak ada yang tak mungkin, semacam kisah kita yang menjadi kasih. berkelindan antara abad-
abad yang ganjil juga eksistensialisme tanah dan air; jadi tanah air.

sebangkai belasungkawa membentuk mimpiku dari lindung rimbun bayang, pohon-pohon,
bangunan, dan kata-kata melepaskan serdadu yang lari dari ajal meniup suara-suara sendu
maskumambang

demikian mimpiku memekikkan duri dari kupu-kupu, menghujani duka dari riwayat yang
mampus, punggung kolam bayangan yang menggunung penuh hujan darah

                                                                                                            Ciamis,  2020

LINI DI ERANGAN GUNUNG PULOSARI

di depan cermin, suatu akhir petang kau membangun minggat dari tubuhku, dalam dekapan ranjang kau ketuk-ketuk pintu dadaku, membangun jalan keseribu pemburu yang mengusik kawat berduri

sepasang gema meliuk ketaktahuan kita, berdentang cumbu telanjang yang kembali menghidupkan matahari dalam remuk badai mungil tubuhmu, hanya lampu, selagi hujan jatuh dan mengetuk menara berkabut, bercabang kematian memikul senyap kekosongan rinduku

aku mengetahui bahwa peluk yang kian runtuh telah memanggil-manggil lini di erangan gunung pulosari, mengabar sukma dan melolong kemuraman cahaya

sejak menjelma gairah, hutan dan danau gaduh, mengikrari ketukan  melayari air mata,di kamar, ranjang mengikatku dari luka yang memberangkatkan ke dasar jurang kekal keabadian

                                                                                                            Surabaya, 2021

 

MATA YANG MEMASUKI JENDELA

selagi pagi masih jauh dari bayang, kita akan saksikan dua mata memasuki jendela-jendela

tanpa tanda, anak-anak seperti sawah menjemur embun pada senyap, mengeluarkan liur, memanaskan yang purba.

kita bersiap-siap menghadapi suatu musim, dengan berjalan di pinggir kolam yang kangen pada jejatuhan daun dan musik, dari burung-burung yang melintasi kesepian

di sebrang taman pada rerimbun pepohonan, pagar-pagar kayu, jejalar rumput pada tembok yang retak, suara-suara mengabarkan pada surau, dengan sedikit sendu, mereka banyak-banyak berkhotbah, pada ciuman pertama

                                                                                                            Ciamis,  2020