MELANKOLIA NOMOR 4
Sebuah sajak pendek yang kau peluk
Adalah kekasihku juga
Yang mesti aku tolong
Sebab oleh takdir, caranya mencintai
Terus saja dipotong
Aku ingat sandal karetmu yang terputus
Ia tak paham dengan apa perpisahan
Oleh kaki dibenamkan, melebihi
Ingatan buruk yang ditampik orang-orang
Ke dalam bumi yang membuat jantungmu
Lebih nyaring memuntahkan bunyi, aku tahan
Seluruh airmata yang sengaja dikirim dari ujung sana
Untuk menghancurkan ciuman kita
Bertahanlah untuk terus hidup, sayang.
Dalam mataku yang kering.
Ingin aku lihat kaki pincangmu sekali lagi merangkak
Mencari-cari patahan tubuhku di dalam cermin.
(2014)
PEPATAH DARI SELEMBAR UANG KERTAS
1.
Lalu kau berharap bisa ke sana pada sebuah hari baik.
Dengan berteriak pada setiap orang,
Tak mau lagi diantar oleh jalan-jalan naik.
Kau ingin tak terlihat mengeluh. Tapi sebentar,
Jangan-jangan, justru nama-nama itu
yang di masa lalu pernah membuat
para pejalan kesasar
2.
Tetap saja pada akhirnya kau menengok.
Ada kata pergi. Ada kata berangkat.
Ada kata menjauhi yang ternyata sudah diremas
jauh lebih pagi dari suara batuk tetanggamu.
Kesepian, tangannya ringkih.
Tentu akan sia-sia jika kau minta ia
Untuk sekadar berdalih
3.
Di tikungan pertama yang masih pelit
menerangkan bagaimananya–kau pun pura-pura sesumbar.
Mengusap kening. Membayangkan sajak-sajak hancur
oleh niat baik mereka sendiri dan kau merdeka
tak lagi jadi budak yang melulu menjura
4.
Sejak ayahmu memutuskan berhenti
menyemir rambut, kau menganggap kaca
di ruang keluarga adalah kamus.
Paman-paman dan bibimu selalu muncul
membawa wajah buruk dan semangat
mematahkan kalimat orang lain.
5.
Hijaulah seperti sayur sawi!
kau mendapatkan pepatah angkuh itu
dari selembar uang kertas.
Sayang, kau tak begitu suka
dengan hijau dan tanda seru.
6.
Jari telunjuk ibumu yang teriris pisau.
Rantang makanan. Pesan singkat dari pacar
yang tiba-tiba mengajak putus. Aduh.
Kau sedang mengira-ngira bagaimana
sebuah film perancis membuatkan
adegan pendeknya.
(Semarang, 2014)
Leave a Reply