Puisi-puisi Rizki Amir

komposisi teh melati

“begitulah, akhirnya kita memilih pergi. dan pagi
toh hanya sebentuk ruang yang sebentar.” jalanan
dan pohonan di hadapan berandamu berdekapan.
kota menyelesaikan gumam yang membosankan.
anak-anak pun berkejaran jadi sesuatu yang lebih
ringan daripada air hujan, sebelum akhirnya tidak
terlihat lagi. tapi kamu berkata dan terus berkata:
“ah, bukankah kita tak pernah benar-benar punya
kebahagiaan.” di seberang meja, ketukan-ketukan
tak dapat dihindarkan. beberapa menit, kita ciumi
kepul aroma teh melati ketika mimpi datang lagi.

kita adalah remah-remah roti, potongan kacamata
yang ditinggal pemiliknya, surat pemecatan, buah
pisang, gulungan benang wol prima, bercak saus,
buku catatan, dan sereal yang berhamburan.

memang, tak ada lagi yang bisa kita pertahankan,
kecuali cahaya yang baik dan benar dan sepasang
bangku ditambah beberapa jumput percakapan, di
mana komposisi jadi ilusi-ilusi. waktu minum teh
melati, entah keberapa, kamu masih menanggung
hangat dengan separuh isyarat-isyarat.

2019

senin dari fragmen kota

1.
hari senin melompat dari kepalaku. ia menjelma
seorang anak kecil berambut cokelat dan hidung
menggemaskan. pernah kutanya, “permainan apa
yang paling kamu suka?” ia jawab dengan ringan,
“menata ulang kegagalan.”

aku tersenyum dan hanya bisa menghadiahkan
buku panduan penawar kesedihan –yang sejak
mula aku yakini adalah cara terbaik bertahan diri.

aku dan hari senin kerap habiskan delapan jam
kerja, satu kotak bekal makan siang, dan tentu
saja sebungkus pocky green tea untuk sampai di
halaman pertama sebuah koran kota pagi.

tidak mungkin tidak, aku mencintainya. tapi di
belakangnya ada sesuatu yang lebih dalam dan
hangat ketimbang pernyataan riuh itu. sungguh.
hari senin selalu mengantonginya. sesuatu yang
hanya bisa aku dapatkan saat mencuri-dengar
kecemasan masa depan.

2.
punggungku pusat belanja dua puluh empat jam:
didera obat-obat murahan, diterpa angin malam,
ditempa ketergesa-gesaan surat pemecatan. selalu
saja ada nyeri di sana. di antara rentetan selamat
datang dan ruas jalanan yang baru saja menutup
tubuhnya.

ini adalah hal yang tidak pernah aku sangka, tapi
kini lambat laun aku yakini. setiap kali hari senin
mengajakku berangkat lebih dini, apa-apa yang ia
gumamkan hanya akan jadi sisa: koridor-koridor
pekat, lampu lalu lintas menyusupkan biru-muda
dan magenta sekaligus, dan gedung pemerintah
yang lihai menyembunyikan pintu darurat.

jadinya, tidak perlu ganjil, jika ada yang berdoa –
atau lebih tepat disebut bertanya: “ya tuhan, mana
yang lebih berdosa, menambah angka-angka pada
kredit tanpa agunan ataukah membuang kata-kata
bukan pada tempatnya?”

memang, tak ada yang spesial di sana. tidak akan
pernah ada. tapi di batas aku dan hari senin siluet
berhenti dan polusi menolak beranjak pergi.

3.
aku tahu, kamu tahu, bahwa ia menyayangimu
sebulat dan segawat kamu untuk melupakanku.
tapi tidak perlu khawatir. kelak ia bakal tumbuh
dan besar sebagai pencuri dan pencari kesepian
paling ulung yang pernah kita ulang. kelak hari
senin bisa dengan mudah menyigi ketidak-pastian
pertemuan kecil dan kangen yang panjang, yang
selalu kita ciptakan.

4.
kali ini hari senin menunggu di stasiun sepanjang.
ia kenakan senyum pagi dan setelan warna pastel.
di pangkuannya botol minum berisi jus potongan
awan dan ingatan tentang daftar pertanyaan yang
jawabannya belum ia temukan –sebagai penawar
jika nanti ia mulai kedinginan dan seekor kelinci-
telinga-panjang sayap abu-abu menggemaskan.

aku datang terlambat, sengaja datang terlambat,
lantaran aku tahu kamu sudah ada di stasiun itu.
kita sebenarnya tak akan pergi kemana-mana. kita
hanya akan menebak dan/atau menghitung jumlah
gerbong kereta yang bergerak ke utara. tapi kamu
bisa lihat jelas di matanya tertahan kata selamat

tinggal. hari senin tidak pernah menyadari segala
yang ia tertawai akan pergi, meski ia paham kelak
kita akan mati untuk kedua kali.

2020