RANTING pohon mangga yang menjuntai miring ke bawah melebihi genting rumah itu rimbun oleh dedaunan yang hijau dan pencit yang akan segera legit. Tengah malam berangin, gemerisik genting tergesek daun. Kadang, gemlodhak tertubruk pencit. Salah seorang penghuni mengernyitkan alis menutup buku. Terusik. Lainnya yang setengah terlelap seketika bangun, kaget, curiga kalau-kalau ada maling masuk ke rumah. Pendengaran waktu malam menjelma dugaan dan kecurigaan.
SEOK langkah kaki-kaki telanjang penasaran berdegub mengendap membuat jantung berdetak keluar ritme. Bulu roma berdiri. Yang setengah terlelap sepenuhnya terbelalak. Rasanya baru saja mimpi buruk telah lewat. Tapi kenyataan ternyata sama buruknya dengan mimpi yang dialami. Telinga-telinga menegang, menilai setiap bunyi dan gerakan lamat-lamat.
Gagang pintu berputar. Derit pintu yang horor menyibak selimut dengan cepat, tangan menjejak-jejak, tubuh yang terbaring sontak bangkit terduduk tegak bersandar. Perempuan itu menggamit lengan lelaki di sampingnya lalu mengguncangnya sekeras mungkin. Sepenuhnya lelaki itu masih terjaga—buku masih digenggamnya. Mulutnya berdesis, jari telunjuk menempel di bibir, dahi mengernyit hebat. Raut gusar memenuhi wajah si lelaki. Belum jenak keduanya menerka, pintu itu terbuka. Muncul siluet dua sosok kerdil yang tak asing.
”Lho… kok belum tidur?”
”Enggak bisa tidur,” jawab bocah yang laki-laki.
”Sama,” sahut yang perempuan.
Mereka berempat berkumpul di atas kasur. Dongeng ulat bijak pembimbing gadis cilik yang tersesat di lubang kelinci menggantikan buku tes psikologi yang digeletakkan di meja samping ranjang. Dongeng itu melantun berirama. Kurang dari setengah jam kedua bocah itu tidur terlelap.
Lelaki itu menutup buku dongeng, menguap, memastikan kedua bocah itu telah tertidur pulas, lalu pelan-pelan bangkit dari kasur. Ia gantikan lampu ruangan dengan cahaya lampu baca. Wajah dua bocah itu ternyata memang mencontek sebagian besar wajahnya seperti yang sering dikatakan orang. Lelaki itu mengecup pipi masing-masing. Hati-hati ia rebahkan lagi punggungnya di sandaran kasur lalu diraihnya buku tes psikologi yang digeletakkan di atas meja. Tak sadar ia, perempuan yang tadi menggamit lengannya masih terjaga.
Satu jam menjelang subuh lelaki itu menutup buku. Sesamar mungkin ia mengendap keluar kamar. Bahkan hingga saat itu ia belum juga sadar bahwa mata perempuan yang berbaring di samping kedua bocah itu dengan sengaja hanya setengah terpejam. Mata itu masih memperhatikan langkah-langkahnya hingga ia menutup pintu kamar dengan gerakan yang sangat lambat dan hati-hati. Mata yang setengah terpejam itu telah basah sejak tadi. Perempuan itu menyekanya. Menyeka air mata yang merembes bersama memori.
Angin malam masih membuat genting rumah berpohon mangga itu gemerisik tergesek ranting. Lelaki yang mengendap-ngendap keluar kamar kini seolah sedang menikmati bau sajadah bludru warisan kedua orangtuanya yang mulai basah dan hangat. Ia bersujud lama. Matanya panas.
***
SRENGENGE pagi hangat menyirami daun dan pencit di pohon mangga yang sama. Perhatikan lebih saksama, daun-daun yang rimbun itu berlubang-lubang seperti tertembus pelor senapan angin. Dari lubang-lubang itu terpendar cahaya kuning ke permukaan genting. Corak polkadot yang gemulai. Jutaan bulir-bulir putih bebas berputar-putar. Lanskap yang lengkap.
Pada salah satu ranting di pohon mangga yang sama, seekor ulat bulu merambat cermat melalui beberapa gundukan serat dan pori dengan saksama. Tubuhnya yang liat dominan hijau dengan bulu-bulu lembut berwarna kehitaman di punggungnya bergerak naik turun beraturan. Tiba di ujung ranting, ia menggeliat pada selembar daun. Waktunya sarapan. Dengan mulutnya yang kecil, ia kunyah dengan sabar, sedikit demi sedikit.
Puas di satu daun ia beralih ke daun lain. Tanpa diketahuinya, ia telah membuat lebih banyak lubang yang memendar corak polkadot cahaya ke genting. Di lembaran daun lain embun membinarkan spektrum cahaya warna-warni. Spektrum itu juga menambahkan motif dan warna yang lain ke kulit ulat bulu. Tak mungkin ia merasa kurang, daun dan embun melimpah ruah di sekujur ranting dan dahan.
Ulat bulu yang terus lapar itu tiba di sebuah ranting yang bersentuhan dengan tiang besi penyanggah kanopi garasi. Merasa asing dengan benda padat berkarat itu, ia berhenti sejenak. Gemulai tubuhnya yang menggeliat santai batal berbalik arah. Tubuhnya mencengkeram rapat serat ranting yang dipijakinya, sedangkan kaki-kaki bagian depan terangkat meraba dan merekat pada tiang kanopi itu. Kemudian, seluruh tubuhnya berpindah tempat.
Ulat itu menuruni tiang besi pelan tapi pasti. Di tengah perjalanan ia berpapasan dengan barisan semut merah yang merangkak berlawanan arah. Kawanan semut tak tahan untuk tak menyerang. Menemui bahaya, tubuhnya bergoyang ke kanan dan ke kiri berusaha menghalau dengan bulunya yang tajam. Ia berhasil mengusir semut tapi tak berhasil mempertahankan pijakan. Terjengkang ke tanah, tubuhnya bergeliat, membulat ke kanan dan ke kiri.
Setelah beberapa kali pantulan, ulat itu berhasil membalik tubuhnya yang terjengkang. Tanah itu kasar dan berpasir. Kepalanya beberapa kali terangkat, lantas merambat cepat-cepat sebab ia mendengar suara berdebam-debam di kejauhan. Nalurinya menangkap bahaya. Sebuah benda besar hitam melingkar dengan tangkai-tangkai berwarna perak bersilang-silang menyilaukan di depan hidungnya. Entah benda apa itu, sama sekali tak mirip pohon atau tiang yang baru saja ia lalui.
Ia mengenali benda melingkar itu melalui baunya. Bau yang dalam ingatannya—ingatan yang entah datang dari suatu masa yang berbeda seperti saat ini—adalah bau getah sebuah pohon yang ia yakin bukanlah makanan yang lezat. Ingatan itu terlalu samar. Ah ia masih lapar. Di mana daun-daun yang hijau? Ia menyesal meninggalkan rimbunnya.
Suara debam-debam itu mendekat. Ulat bulu itu tercekat. Mengikuti naluri, ia diam mempererat pijakan. Naluri itu benar, benda yang dipijakinya berguncang hebat.
***
”BAPAK!” bocah laki-laki itu berlari ke arahnya ketika ia masih berusaha menyalakan motor. Yang perempuan menyusul. Keduanya menggelayut di kaki. ”Ayo mandi dulu.” Ia gendong kedua bocah itu, membawanya ke dalam rumah, lantas membimbingnya pada perempuan yang di bajunya masih menempel bau asap dapur—bahkan setelah sarapan. Perempuan yang telah dinikahinya dengan janji kebahagiaan.
”Ayo anak nakal, waktunya mandi. Kok belum berangkat? Nanti telat…,” berkata istrinya itu sambil merangkul pundak kedua bocah. Lelaki itu menggeleng ringan sambil membuat bunyi “fuh” dari mulutnya dan mengarahkan jempol ke sepeda motor di balik badannya. Mata istrinya memicing, dahinya mengernyit, bibirnya monyong, lalu cepat balik badan. Ia menggamit lengan kedua bocah, masuk rumah sembari mendongeng tentang anak-anak pemalas yang jarang mandi. Sejenak mata lelaki itu terpejam, menghirup napas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan sekali embusan.
Peluh mengucur deras. Kemejanya basah. Setiap kayuh pedal motornya adalah pendaran ingatan dan angan-angan yang nyaris kandas. Semua bercampur-baur hingga ia tak sanggup memilah. Ia berhenti, merogoh sakunya, masih ada selembar lima ribuan dan lima lembar seribuan. Ia mengayuh lagi, tapi motor itu semakin menjengkelkan. ”Diamput!” umpatnya bisik-bisik. Ditendangnya ban depan motor itu dengan sepatu pantofel cokelat yang baru disemir. Motor itu nyaris terguling. Matanya terbelalak ketika gerakan cepat tangannya berhasil meraih besi di sekitar jok motor. Mulutnya kembali membuat bunyi “fuh.”
***
UNTUK beberapa kali guncangan, ulat bulu itu nyaris hilang keseimbangan. Ia mempererat pijakan. Namun, setelah guncangan itu berhenti untuk beberapa saat, benda hitam melingkar yang dipijakinya tiba-tiba bergetar hebat. Sesuatu membenturnya dengan keras. Kali itu ia terlempar dan mendarat akurat di atas benda berwarna cokelat. Warna cokelat benda itu berbeda dengan cokelat ranting dan dahan pohon manapun, namun lebih mengilat. Bau benda itu lain lagi, menyengat, membuat pusing kepalanya. Ah, ia rindu bau ranting dan daun. Semakin gelisah ia sebab perutnya terus saja lapar.
Benda yang dipijakinya berserat seperti kulit pohon, tapi lebih halus dan rapat. Cukup padat ketika terjamah oleh kaki-kakinya yang lembut. Ia diam sebentar seolah hendak memahami. Tiba-tiba tubuhnya terangkat. Angin menerpa lembut di punggungnya. Benda itu berdebam ke tanah. Nalurinya mengatakan, ia harus segera menemukan pijakan lain yang lebih aman sebelum ia terjengkang lagi ke tanah. Ia angkat bagian depan tubuh dan kepalanya untuk menemukan pijakan terdekat. Kali ini, benda yang dipijaknya terdiri dua sisi: luar dan dalam. Sisi luar terpapar sinar sedangkan sisi dalam gelap. Benda itu jelas bukan sebuah daun, sebab benda itu biru pekat.
Merambat ke sisi dalam, tanpa disengaja beberapa helai bulu di punggungnya menancap pada sebuah bidang lembut yang juga berbulu. Bila bulu-bulunya merumpun padat dan tegak, ia tahu, di bagian yang terpapar sinar, bulu-bulu itu panjang tapi jarang, melingkar tak beraturan. Ia yakin itu bukan rumput, sebab bulu-bulu itu berwarna hitam. Ah, ia tak pandai menduga, ia juga tak pintar berprasangka. Berputar arah, ia merambat ke sisi luar. Sesuatu yang lain menyentuh bulu-bulu di punggungnya. Pada saat yang sama terdengar erangan. ”Asu!”
Oh, sungguh menyesal ulat itu. Benda yang dipijakinya marah, menyerangnya dengan benda serupa cakar burung tapi bercabang lima dan berkuku pendek dengan ujung hitam-hitam. Cakar itu berpori dengan serat yang melingkar-lingkar. Sama menyeramkan. Ia berlindung pada bulu-bulunya yang tajam, beberapa helai bulunya tertancap pada cakar itu. Terdengar erangan lain. ”Aduh, jangkrik… Oalah, apes!”
Posisinya belum aman, beberapa kali tubuhnya berguncang seiring bidang pijakan yang bergetar hebat bersamaan dengan suara debam-debam yang cepat dan berulang-ulang. Sambil memperkokoh cengkeraman kaki pada pijakan, ia mencari jalan keluar. Sia-sia. Secepat apapun merambat tubuhnya pasti kembali ke posisi semula. Berada di tepi perbatasan, ia bingung berlindung ke mana. Ia merambat ke sisi dalam. Lagi-lagi percuma, serangan belum berhenti. Sisi dalam yang dipijakinya membalik dan terpapar cahaya. Benda lain menyerangnya. Kali ini bukan cakar, tapi batang putih panjang dengan bagian tengah yang kopong. Benda apa lagi ini? Tak ada dalam kamusnya.
Suara-suara asing masih terdengar, tak ada makna yang bisa dimengerti. Ia masih berjuang melawan batang putih yang kopong. Bagian depan tubuhnya mulai tercongkel. Batang putih yang kopong berhasil mencongkel seluruh tubuhnya. Ia pasrah, tubuhnya terpental ke tanah, menggeliat cepat, membulat ke kanan dan ke kiri. Oh, mungkin ini akhir petualangannya. Tak sampai waktu sayap mengembang. Pupus mimpi tentang hari ia bisa terbang, seperti burung—kecuali cakar dan paruhnya yang menyeramkan.
Suara asing itu kembali membahana. ”Ha-ha-ha-ha….” Ia yakin Gusti Allah masih bermurah hati padanya, memberinya kesempatan untuk hidup lebih lama, membiarkan sayapnya mengembang indah. Lalu, berkali-kali suara berdebam-debam semakin lirih dan menjauh. Sedikit lega, ulat bulu itu kembali merambat. Tubuhnya menggeliat pelan kecapaian. Terbayang lagi aroma dedaunan yang lezat. Mana hijau yang mendayu itu? Juga embun yang menyingkirkan dahaga?
LELAKI itu menyumpahi nasib sambil mencabuti bulu di jemarinya. Ia meraih sebatang pipet dalam plastik yang di dalamnya tergenang sisa es teh yang dibuang sembarangan oleh anak laki-lakinya. Ia congkel ulat bulu itu dari kelim bagian dalam celana kainnya. Ulat itu terjengkang ke tanah. Masih berjongkok, ia mencabuti beberapa bulu ulat yang menancap di betisnya. Lalu ia sadar akan sesuatu. Melihat jam di tangannya tawa lepas dari mulutnya membahana, menggema di garasi rumah kontrakan yang sewanya belum terbayar entah berapa bulan. Tawa yang terlontar itu spontan dan hilang tujuan.
Sementara otot-ototnya mengendur, ingatannya justru meregang. ”Mas, yakin enggak ada yang ketinggalan?” Sontak ia berlari kecil ke dalam rumah mendengar teriakan istrinya itu. Ia mendapati pujaan hatinya itu bersandar di sisi dalam dinding rumah dekat pintu garasi bergaya demikian rupa sembari mengipas-ngipaskan amplop cokelat berukuran besar. ”Misah-misuh ono opo toh? Kesurupan?” meraih amplop itu dengan gerakan cepat tangan kanannya, tangan kiri lelaki itu menggamit lengan istrinya, menariknya mendekat, lantas melumat habis bibirnya.
Hidup terasa begitu lentur*. Bukan karena istrinya adalah mantan balerina yang terjebak dalam pertunjukan hampa kehidupan bersama seorang suami penganggur, tapi tiba-tiba saja sebuah energi tak terduga seketika membakar tubuhnya. Ia melangkahkan kaki lebih ringan. Langkah yang menggema di garasi rumahnya. Berjongkok mengambil pipet yang tergeletak serampangan, mengacuhkan motornya yang mangkrak sembarangan. Matanya mencari sesuatu sambil bergumam, ”lari ke mana kowe?”
BATANG putih yang kopong kembali menyerang. Ulat bulu itu menggeliat menghindar. Batang putih yang kopong itu berhenti, miring melandai menyentuh tanah tepat di hidungnya. Ini saatnya membalas. Ia merambati batang putih yang kopong itu. Tanpa disadari keputusan itu memerangkapnya dalam jebakan. Bersama batang putih yang kopong dan tak ditemukan dalam kamusnya itu ia merasakan tubuhnya melayang. Angin membelai punggungnya. Berusaha bertahan, ia melingkar-rekat pada benda itu. Hingga, akhirnya ia mendarat akurat pada sebuah pijakan. Ia mengenali pijakan itu. Sebuah ranting mungkin. Ah, bukan, itu adalah sebuah tangkai. Sebutlah apa saja, yang penting banyak daun dan embun di sana.
”Gara-gara kamu aku telat, tapi bakal malu seumpama enggak bawa surat,” ulat bulu tentu saja tak mengerti. Apalagi, sudah kepalang senang ia akhirnya menemukan dedaunan. Ia lapar. Petualangannya pagi itu benar menegangkan dan penuh kejutan. Jalan di depan rumah kontrakan itu telah dipadati lalu lalang kendaraan, tukang sayur keliling, pengayuh becak dengan keringat sejagung-jagung, celoteh penumpang becak tentang bapaknya si anu atau ibunya si ina, bunyi bel sepeda gayung, juga cerak-cerik beberapa bocah bersenda gurau selagi berangkat ke sekolah.
Pada sebuah tanaman yang potnya diletakkan berjajar dengan pot tanaman lain di batas halaman rumah kontrakan itu, ulat bulu merambat di atas sebuah daun. Untuk beberapa waktu kemudian, ulat itu merajut liur di tanaman yang sama. Membangunnya menggantung sebagai kepompong yang membalut tubuhnya, hingga tiba saatnya ia merentangkan sayap yang pada tiap sisinya terpendar bulatan hitam seperti dua mata yang sedang memandang. Petualangannya berakhir seiring derap langkah lelaki yang berjalan santai menuju jalan raya, lalu “bemo cak!”
***
PAGI itu corak polkadot masih memendar di genting rumah yang sama. Binar spektrum embun melengkapi srengenge yang makin meninggi. Seekor ulat bulu lain jatuh terjengkang ke tanah akibat serangan kerumunan semut merah. Kawanan semut menyerangnya saat sedang asik menggerogoti daun-daun di ranting pohon mangga yang sama. Dua orang bocah asik berlari-larian di halaman rumah. Seorang perempuan duduk di beranda, siap mendulang semangkuk sarapan pada keduanya. Di jalan raya, ban mobil angkutan umum yang dinaiki oleh suami perempuan itu masih membekas nyata.
Ulat yang baru saja jatuh terjengkang ke tanah itu menggeliat, membulat ke kanan dan ke kiri. Beberapa bulunya rontok. Setelah beberapa kali pantulan, ulat itu kembali menemukan pijakan. Tanah yang kasar dan berpasir. Kepalanya beberapa kali terangkat, lalu merambat lagi, merambat secepatnya sebab nalurinya berkata bahaya. Tapi percuma. Crot. Cairan hijau dari dalam tubuhnya terburai dalam sekali injakan. Masih membawa mangkuk sarapan, perempuan itu mengesek-gesekkan sandalnya dengan ekspresi jijik, ”Hemh… mati kowe!”
Sidoarjo, 8-Februari-2011
*) Dinukil dari lirik lagu band Efek Rumah Kaca (ERK) berjudul Balerina
Leave a Reply